Kesenian (I Nyoman Masriadi)

Dalam lelang yang digelar Balai Lelang Sotheby’s di Hong Kong pada Oktober 2008, lukisan karya I Nyoman Masriadi yang berjudul The Man From Bantul (The Final Round) terjual dengan harga Rp 10 miliar. Harga tersebut merupakan rekor tertinggi di Asia Tenggara.
Beberapa bulan sebelumnya, hasil karya Masriadi yang berjudul Sudah Biasa Ditelanjangi juga sempat membuahkan heboh Balai Lelang Christie Hong Kong. Pasalnya, lukisan tersebut terjual dengan harga US$ 554 ribu atau sekitar Rp 5 miliar. Tingginya harga jual lukisan bergaya kontemporer Indonesia ini sekaligus menandakan berakhirnya era Kontemporer Tiongkok yang sebelumnya sempat booming dan ditunggu-tunggu kolektor lukisan.
Sayangnya, hasil penjualan lukisan tersebut tidak sepeser pun yang mampir ke kantong Masriadi. Sebab, lukisan tersebut sudah berada di tangan kolektor. Hanya saja, bagi Masriadi, transaksi itu jelas sangat membanggakan karena hasil karyanya diapresiasi kolektor dengan nilai yang begitu fantastis.
Dan, yang tak kalah menggembirakan, semakin tinggi nilai jual karya lukisnya, maka popularitasnya pun akan ikut terdongkrak dan nilai jual hasil lukisan berikutnya pasti akan ikut melambung. Hal itu dibuktikan Masriadi. Belum lama ini, tepatnya Agustus 2008, ia berhasil menjual satu karya lukisannya senilai Rp 1,8 miliar. Lukisan di atas kanvas berukuran 2 X 3 meter berjudul Aku yang Dapat terjual tanpa melalui proses lelang. Dedy Kusuma, seorang pebisnis asal Semarang, datang langsung ke rumah Nyoman di kawasan Sinduharjo, Ngaglik, Sleman, DIY.
Nama Nyoman Masriadi memang belum sebesar maestro Affandi. Namun, prestasi yang ditorehkan pria yang tidak sempat menamatkan pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI)Yogyakarta ini jauh lebih fenomenal ketimbang Affandi. Terlebih, prestasi tersebut diraihnya kala usianya masih tergolong muda, 34 tahun.
Menurut pengamat lukisan Kuss Indarto, sejak awal kemunculannya, Masriadi merupakan pelukis yang memiliki karakter sendiri. Karyanya bisa terbilang melawan arus. Ketika pada umumnya seniman Bali menganut aliran abstrak ekpresionis, Masriadi memilih gaya kubistik. “Itulah salah satu yang membuat dia berbeda dari seniman Bali pada umumnya,” kata Kuss yang sealmamater dengan Masriadi di ISI Yogya.
Kuss menuturkan, karya Masriadi mulai dilirik para kolektor setelah ada karyanya yang terpilih untuk ajang pameran seni Binnale Yogyakarta 1999. “Sejak itu, dia mulai diperhitungkan,” ungkapnya.
Selain memiliki gaya kubistik yang berbeda dari seniman Bali yang tergabung dalam Sanggar Dewata Indonesia Yogyakarta, Masriadi juga memiliki selera berbeda dalam memilih tema lukisan. Ia tidak mengikuti arus mainstream. Ketika para pelukis umumnya memilih karya-karya heroik politik karena pengaruh situasi nasional, ia justru memilih tema sederhana yang bersifat humoral. Meninju John Lennon adalah salah satu contoh karya lukisnya yang keluar dari arus mainstream dan menarik perhatian kolektor.
Pujian terhadap karyanya juga datang dari I Gusti Nyoman Wiednyana, pelukis yang juga menjadi kartunis. “Karyanya bagus sekali,” ujar Gung Man, sapaan akran Wiednyana. Sebagai sesama seniman lukis, Gung Man mengakui tidak mengenal Masriadi secara personal karena perbedaan umur yang cukup jauh, tetapi ia mengacungkan jempol terhadap keberhasilan Masriadi menjadi pelukis termahal saat ini lewat gaya kontemporernya.
Gung Man melihat peran manajemen yang membawahkan Masriadi sudah berhasil mengangkat nilai jual hasil karyanya yang memang juga bagus. “Manajemennya bagus dan hasil karyanya juga bagus,” tambahnya. Menurutnya, Masriadi telah berhasil menemukan karakter yang oleh manajemen berhasil dikelola sehingga mempunyai nilai jual tinggi.
Gung Man pun pernah empat tahun berada di bawah suatu manajemen. Namun, jiwa seninya memaksanya mengundurkan diri. “Lukisan bukan lagi sebagai hasil seni, tapi lebih condong ke bisnis,” ungkapnya. Ia mengatakan, pihak manajemen tentunya tidak mau rugi dengan dana yang telah dikeluarkan untuk menjadikan karya pelukis binaannya mempunyai nilai jual tinggi. Pengalamannya, sebagai seniman ia tidak bisa berekspresi secara bebas lagi, semuanya tergantung pada pesanan manajemen.
Ungkapan Gung Man ada benarnya. Nama Nyoman Masriadi mulai menanjak setelah ada pihak lain yang mengajaknya kerja sama. Tahun 2000-03, ia sempat bekerja sama dengan seorang pedagang lukisan bernama Eddy Djoen. Selepas dari Eddy Djoen, ia digandeng Edwin Gallery yang berakhir tahun 2006. Setelah itu, Masriadi direngkuh Jasdip, pengelola Gajah Gallery di Singapura.
Sejak digarap Jasdip itulah, Nyoman Masriadi benar-benar mengalami lompatan luar biasa. Namanya mulai berkibar di luar negeri. Jasdip memang tidak tanggung-tanggung mempromosikannya, baik dengan melakukan pameran di berbagai negara maupun berpromosi lewat media luar negeri.
Kuss mengatakan, nilai jual karya Masriadi memang meningkat drastis. Dari pengamatannya, pada masa-masa awal, lukisan Masriadi masih dihargai sekitar puluhan juta. ”Tapi belakangan sudah tembus angka ratusan juta, bahkan terakhir ia bisa menjual langsung satu miliar lebih.”
I Made Aria Dwita, rekan kuliah Masriadi, membenarkan ungkapan Kuss. Menurut pria yang akrab disapa Dedok ini, selama kuliah ia tidak melihat ada keistimewaan yang menonjol pada diri Masriadi. “Selama di kampus biasa-biasa saja,” ungkapnya. Masriadi, di matanya, merupakan sosok yang cuek dan senang menyendiri. Dedok tidak pernah melihat ada prestasi akademis yang menonjol, hanya saja Masriadi memang terlihat rajin saat mengerjakan tugas-tugas yang diberikan.
Di lingkungan mahasiswa asal Bali, menurut Dedok, Masriadi lebih dikenal dengan panggilan si Gob – dari kata goblok/bodoh. Pasalnya, ia memang sangat tidak peduli terhadap lingkungan sekitar. Kesuksesan Masriadi saat ini, baginya, memang karena pertemuan keberuntungan dengan kesempatan. “Kami pernah sama-sama lapar,” katanya. Namun, Dedok tidak merasa kecewa dengan sikap Masriadi yang seakan-akan “melupakan” teman senasibnya dulu. “Saya senang melihat teman berhasil,” ujarnya.
Nyoman Masriadi kini tengah menikmati masa-masa kejayaan sebagai seniman lukis. Ia pun telah menempati rumah baru yang terbilang cukup mewah untuk ukuran Yogya. Ia tinggal bersama istri dan dua anaknya, Bangsa Ganisha (11 tahun) dan Pucuk Cemara (7 tahun). Di rumah seharga Rp 5 miliar dengan gaya kubisme seluas 500 m2 itu ia menghasilkan lukisan-lukisan yang telah dinanti para kolektor. Konon untuk mendapatkan hasil lukisannya, kolektor harus rela menunggu lama. ”Yang saya dengar, ada yang menunggu sampai tiga tahun untuk mendapatkan lukisan Nyoman Masriadi,” kata Kuss, yang juga kurator lukisan.
Walau banyak orang yang antre menunggu hasil karyanya, Nyoman Masriadi tidak lantas gelap mata. Ia tak mau memanfaatkan kesempatan. Ia tidak ingin menghasilkan karya yang terkesan asal-asalan. Ia justru kian hati-hati. Ia tidak mau memaksakan diri mengejar target.
Gung Man mengaku salut kepada Nyoman Masriadi yang bisa tetap di bawah manajemen karena ia menyadari, seniman memang agak sulit mengelola diri sendiri. “Tapi bukan berarti harus memasang tembok tinggi untuk membatasi diri,” tambah dia mengomentari makin sulitnya Masriadi untuk ditemui.
Yang jelas, saat ini Nyoman Masriadi memang termasuk sebagai 100 seniman besar dunia. Dari Indonesia memang ada beberapa seniman lukis, tetapi nama Nyoman Masriadi berada di posisi tertinggi di tingkat global, tepatnya di urutan 41 – di atasnya, para seniman dari luar. “Untuk Indonesia, saat ini dia memang paling top,” ujar Kuss tandas.
Kuss mengatakan, kalau hanya ingin mengejar materi, Nyoman Masriadi bisa saja menghasilkan lukisan sebanyak mungkin. Bahkan, bisa saja ia menggunakan cara-cara yang bersifat manipulatif seperti mengerjakan tukang gambar. Akan tetapi, hal itu tidak dilakukannya.
Menurut Kuss, Nyoman Masriadi terus berusaha menjaga kredibilitasnya. Semakin banyak orang yang mencari karya lukisannya, semakin selektif ia menghasilkan karya.
Pengamat lukisan Agus Dermawan T mengingatkan bahwa Nyoman Masriadi hanya seorang dari total 2.000 lebih pelukis profesional di Indonesia. “Jumlah pelukis profesional di Indonesia sangat banyak. Nyoman Masriadi adalah seorang dari 2.000-an orang itu,” kata Agus.
Agus menjelaskan, saat ini ada kecenderungan seni rupa dunia mengikuti tren seni rupa kontemporer Cina yang muncul beberapa tahun belakangan. Gejala ini muncul karena lukisan karya old master atau pelukis maestro telah habis terjual dalam lelang dari 1993 hingga 2000. Dalam kurun waktu tersebut, biasanya ada 4-6 kali lelang setiap tahun. Setiap lelang biasanya 150-200 lukisan para maestro dijual. “Akhirnya, karya-karya para old master yang terbatas ini habis.”
Agus menambahkan, tren ini kemudian ikut melanda galeri-galeri dan para investor seni di Indonesia. Hanya saja, mereka tidak memiliki ikatan psikologis dengan seni rupa kontemporer Cina tersebut. Apalagi, harga seni rupa kontemporer Cina tersebut sangat tinggi untuk pasar di Indonesia. Lalu, mereka mulai mencari ikon-ikon baru lokal untuk menjawab tren dunia ini. Mereka mencari pelukis-pelukis bukan maestro, tetapi bisa menjual lukisannya dengan harga yang mendekati harga lukisan-lukisan para maestro. “Nyoman Masriadi mereka anggap cocok untuk menjadi ikon tersebut.”
Agus mengaku tidak terlalu mengenal sosok Masriadi, tetapi cukup sering melihat karya-karyanya. Menurutnya, lukisan-lukisan Masriadi mirip dengan gaya seni rupa kontemporer Cina. Lukisan-lukisannya selalu menampilkan tema sehari-hari. Visualisasinya pun sangat komikal. Ia kemudian mencontohkan sebuah lukisan Masriadi yang menggambarkan seorang gadis sedang berdiri di pinggir jalan sambil memainkan telepon genggamnya. “Aspek kedalaman dan nilai filosofi sepertinya tidak dianggap penting. Saya pikir, Masriadi juga menyadari bahwa aspek-aspek tersebut tidak penting,” katanya.
Agus menegaskan, ia melihat sosok Masriadi dari dua kacamata. Kacamata pertama adalah kacamata pasar. Dengan kacamata ini, ia merasa sangat senang dengan kehadiran Masriadi. Selain membuat dunia seni lukis di Indonesia lebih segar dan ringan, pelukis Indonesia jadi punya muka di pentas seni dunia. Agus yang juga menjadi konsultan di sebuah galeri merasa tidak ada masalah jika ada lukisan yang terjual dengan harga mahal. “Keuntungan meningkat, komisi jadi bertambah,” ujarnya seraya melempar tawa.
Adapun dari kacamata kritikus lukisan, ia menilai lukisan-lukisan karya Masriadi secara artistik belum sebanding dengan lukisan-lukisan karya Afandi dkk. “Lukisan Masriadi, ya 1/10 itu tadi,” katanya. Karena itu, ia merasa tidak adil jika kita hanya terpaku pada Masriadi, tidak melihat banyak pelukis muda lainnya yang dimiliki Indonesia.
Reportase: Ahmad Yasir Saputra, Gigin W. Utomo dan Silawati
Riset: Siti Sumariyati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar